catatan kecil dari buku hendrik skolimowski Eco-Philosophy

 PENGETAHUAN DAN NILAI-NILAI

Ilmuwan vs Agamawan 


Pengetahuan akan melahirkan kebijaksanaan bila terdapat nilai didalamnya, namun bagaimana jadinya jika pengetahuan itu bebas dari nilai? Mana yang jauh lebih penting untuk ditanyakan dalam proses kehidupan sebagai seorang manusia apakah bagaimana melakukan banyak hal tanpa pertimbangan baik atau buruk? atau bagaimana menjalani kehidupan dengan baik? Bagi sebagian manusia hidup adalah sebuah seni memutuskan, sejarah mengajarkan tentang sebuah keputusan bertanggung jawab atas semua ketimpangan yang dicipta dan dirasa sendiri baik suka maupun duka. Tapi sejarah yang terjadi antara dunia ilmiah fisik dan metafisik yang berpisah merubah budaya kita sebagai manusia dalam jalan pencarian makna. Hal ini terjadi karna perpisahan pengetahuan dan nilai-nilai, peristiwa penting dalam sejarah intelektual barat yang disebut dengan sekulerisme pengetahuan kosong akan nilai-nilai, yang berdampak dengan munculnya berbagai keilmuan ilmiah yang terspesialisasi secara linier dari batang tubuh filsafat alam yang mengakibatkan keterpisahan tujuan dan kegunaan yang mendasari pengetahuan dan nilai-nilai itu sendiri. Memulai pembaruan yang terlepas itu sama halnya dengan bersiap dengan semua resiko jangka panjang yang mungkin dan pasti berbahaya karna memudarkan konsep alam semesta sebagai rumah manusia yang dialih fungsikan sebagai sebuah mesin produksi pengetahuan dan secara berangsur-angsur zaman akan menyisihkan unsur-unsur lahiriah dan batiniah menjadi unsur kepentingan dan kepuasan semata yang menurut sebagian manusia menjawab pertanyaan bagaimana melakukan banyak hal dalam hidup tanpa mempertimbangkan etika jauh lebih penting ketimbang bagaimana menjalani kehidupan dengan baik. 

Pandangan eksplorasi besar-besaran dalam dunia ilmiah fisik akan menghilangkan nilai-nilai esensi manusia disisi lain.  Pengetahuan non nilai yang kita makan sekarang adalah racun yang membunuh kita secara perlahan. Krisis zaman, budaya dan krisis manusia modern adalah kenyataan pahit yang walau pahit masih saja harus kita telan. Optimisme manusia akan harapan semua permasalahan manusia bisa diatasi dengan ilmu pengetahuan semata ternyata membawa malapetaka bagi kehidupan manusia. Pemisahan logis ini mengatarkan kita pada sebuah pencarian atas pentingnya ilmu-ilmu fisik dengan semua yang terjadi didalamnya akan beresiko pada sebuah pertimbangan kurang pentinya nilai-nilai esensi dipandang. Maka dapat dikatakan kemilau pengetahuan kita yang sudah begitu gegap gempita ini mematikan nilai-nilai kemanusiaan kita yang sudah sejak lahir tertanam dalam diri. Ini adalah sebuah pandangan yang harus dijabarkan. Ibarat sebuah egrang antara pengetahuan faktual dengan nilai-nilai esensi manusia: ketika tongkat kaki yang satu melangkah maju maka ada satu tongkat kaki yang harus ditinggalkan. Ilustrasi ini isyarat sebuah permainan yang harus kita menangkan tapi ternyata kita sudah game over diawal permainan, untuk melangkah maju adalah dengan bergantian satu tongkat dengan yang lain artinya kebangkitan kembali nilai-nilai esensi manusia dan menempatkannya kembali ke pusat kehidupan kita bisa saja terjadi tapi itu akan mengorbankan segala bentuk pujian kita yang berlebih terhadap ilmu dan fakta fisik yang empiris yang sudah kita nikmati berlebihan sampai puncak menuhankan pengetahuan itu. Knowledge is power, but character is more powerfull (pengetahuan adalah kekuatan tapi karakter lebih kuat).


  1. Posisi –Posisi Historis Dasariah

Secara historis setidaknya ada empat posisi dasar yang berkenaan dengan hubungan nilai-nilai dengan pengetahuan.

Pertama adalah pendirian zaman kuno klasik yang diwakili oleh Plato yaitu nilai-nilai dan pengetahuan tergabung dalam satu tujuan yang satu sama lain tidak saling mendominasi. Dalam pandangan Plato kesatuan kebenaran adalah kebaikan dan keindahan. Tak ada pengetahuan yang bebas nilai sebaliknya tidak ada nilai-nilai hampa dari pengetahuan. Menurut Plato menjalani suatu kehidupan yang mulia yaitu dengan memiliki pengetahuan yang unggul, pengetahuan yang membawanya pada hal-hal yang bernilai dan semakin bernilai bila semuanya terarah kepada nilai dasar yang disebut Yang Ilahi karna itu manusia akan mencapai puncak eksistensinya apabila ia terarah kepada yang Ilahi.

Plato berpandangan bahwa pengetahuan dan nilai-nilai adalah kesatuan total antara kebaikan atau nilai objektif, cinta dan kebahagiaan. Orang yang berakal budi dipenuhi oleh pengertian yang tepat, melalui pengetahuan kita menyesuaikan diri dengan keselaraan alam semesta, dengan alam pikiran dengan begitu akan lahir sebuah pandangan yang seimbang dan tertata. ( filsafat etika hal. 30)

diabad pertengahan pengetahuan dan nilai-niai masih terbungkus dalam satu paket tetapi nilai-nilai berada diatas pengetahuan yang ditetapkan oleh gereja. Pengetahuan tidak berkembang karna nilai-nilai tidak menyiram pengetahuan. Pengetahuan menjadi pelayan untuk nilai-nilai yang secara apriori diterima sebagai hal tertinggi dan mutlak. Hal ini didasarkan pada interprestasi gereja terhadap wahyu yang dipandang tidak dapat dipahami oleh kemampuan berfikir manusia, oleh karna itu wahyu dianggap kebenaran paling mampu melampaui keterbatasan manusia dalam menemukan kebenaran, yang akhirnya mengabungkan nilai-nilai dan pengetahuan diatas kekuasaan nilai-nilai.

Dua pendiri lainnya terlihat pada periode pos-Renaisans. Posisi ketiga memisahkan pengetahuan dari nilai-nilai tetapi tanpa memberikan porsi lebih besar kepada salah satunya. Barangkali posisi ini diwakili oleh Emanuel Kant (1720-1804) pengetahuan mempengaruhi moralitas tapi disaat yang sama moralitas dipandang sebagai bagian dari kewajiban yang memang harus dilakukan atas dasar kesadaran manusia artinya kant menilai bahwa orang bermoral tidak melakukan sesuatu apapun atas dasar ia ingin melakukannya tetapi ia berkewajiban untuk melakukannya. Posisi dasariah ini dilingkupi nilai-nilai moralitas tanpa menegasikan pengetahuan sebagai dasar sesorang bertindak dan berfikir.  Oleh karena itu kant meringkaskan pengetahuan dan nilai-nilai dengan menyatakan kehidupan memerlukan kebenaran sedangkan kebenaran tidak dapat seluruhnya diperoleh dengan indera dan akal semata karna ia terbatas kemampuannya untuk mempelajari terlebih agama, akal dan indera dapat terus berkembang dan dikembangkan sampai menjadi bunga namun setelah itu moral merupakan pertimbangan ukuran kebenarannya bunga itu akan dipatahkan atau dibiarkan mekar secara alami.

Posisi keempat dianut oleh empirisme klasik dibangun pada abad ke-17 yang muncul setelah lahirnya aliran rasionalisme. Bahkan aliran empirisme bertolak belakang dengan aliran rasionalisme. Menurut paham empirisme pengetahuan bukan hanya didasarkan pada rasio belaka. Konsep mengenai filsafat empirisme muncul pada abad modern yang lahir karena adanya upaya keluar dari kekangan pemikiran kaum agamawan di zaman skolastik. Dan perluasan-perluasan yang lebih mengilaukan melahirkan positivisme adab kesembilan belas dan empirisme logis abad kedua puluh benar-benar memisahkan nilai-nilai dari pengetahuan dengan memberikan kuasa pada pengetahuan benda-benda fisik dengan memutuskan bahwa nilai-nilai bukanlah pengetahuan sejati pada posisi ini pengetahuan berdaulat atas nilai-nilai yang sampai saat ini kita hidup dalam keterpisah itu. Krisis itu berdampak pada semua dimensi kehidupan dan alam semesta kita. Ancaman kerusakan dan kepunahan sudah didepan mata, lingkungan kita bukan lagi manusia tapi ego dan nafsu semata yang dampaknya luar biasa.

Keempat posisi dasariah diatas itu Plato yang menggabungkan pengetahuan dengan nilai-nilai tanpa menekan satu sama lain; kekristenan menggabungkan keduanya tapi menegasikan nilai-nilai atas pengetahuan; Kant memisahkan keduanya tanpa mengdorong salah satunya; empirisme memisahkan keduanya memaksa mundur nilai-nilai atas kekuasaan pengetahuan faktual.

Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan di peroleh atau bersumber dari  panca  indera  manusia,  yaitu  mata,  lidah,  telinga,  kulit  dan  hidung.  Dengan  kata  lain, kebenaran  adalah  sesuatu  yang  sesuai  dengan  pengalaman  manusia. Tentu pendiri tradisi empirislah yang bertanggung jawab atas segala pandangan intelektual kita tradisi ini menjadi jalan dalam cara berfikir dan menilai kita yang kosong akan nilai-nilai dalam masyarakat kita, universitas-universitas kita dan kehidupan pribadi kita. kehidupan kebudayaan dan masyarakat kita adalah masalah yang sangat kompleks dan kusut. Peradaban kita adalah peradaban yang berani suatu peradaban yang berpetualang tetapi peradaban kita adalah peradaban yang dirundung kesedihan, pengetahuan kita menghancurkan kita dari dalam. 

Empirisme abad kesembilan belas bercita-cita pada tradisi teknologis yang baru dan maju dengan mendorong munculnya entitas-entitas baru yang lebih detail yang rumpunya yaitu genetika dan biologi pada awalnya semangat observasi ini didorong dengan pengenalan terperinci suatu materi yang membuka peluang-peluang munculnya banyak senyawa baru. Tradisi intelektual yang secara langsung atau tidak telah menyebabkan kekosongan nilai ini beakar pada abad ketujuh belas, selama masa itu doktrin Bacon, Descartes, Galileo, Newton, Hobbes, Locke, Hume ilmu itu berbasis pada pengenalan empiris. Pada abad kedelapan belas pusat perkembangannya bergerak ke Prancis dimana D’alembert, Condillac, Condorcet, Diderot, Voltaire, Laplace, La Mettrie dan yang lain mengemukakan alasan sekulerisme dan pandang dunia. Kemudian pada abad kesembilan belas tradisi itu dilanjutkan oleh August Comte, Jeremy benham, John Stuart Mill dan para materialistik lainnya. Pada abad kedua puluh tradisi ini dilanjutkan oleh semangat evolusi yang lebih terbarukan oleh Bertrand Russell dan para empirisis logis dari lingkaran wina yang merupakan gerakan dalam bidang filsafat yang berorientasi pada pencapai filsafat yang ilmiah dan menghapus proposisi-proposisi yang tidak dapat dibuktikan menurut prinsip-prinsip ilmiah. 

Tokoh-tokoh yang membangun dan mengembangkan aliran empirisme antara lain: Francis Bacon (1210-1292), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), George Berkeley (1665-1753), David Hume (1711-1776) dan Roger Bacon (1214-1294). Pengetahuan akan tuhan merupakan suatu hal yang tidak dapat dibuktikan karena tidak adanya kesan pengalaman yang kita rasakan akan tuhan. Persoalan tuhan merupakan persoalan yang berkaitan dengan metafisika. Pembahasan dalam metafisika tidak bisa didekati dengan pembuktian menuntut adanya suatu empiris dan nyata menurut David Hume  nilai-nilai tak berati dimata emperisis.  

Peran Francis Bacon adalah sebuah arah besar dari sebuah perubahan yang bertentangan dari pandangan manusia sebelumnya, menguasai dan mengekspoitasi alam adalah gambaran pengetahuan yang tak lagi menuju arah yang lebih jauh yang bersifat transenden dengan makna dan penghayatan rasa haru, keberanian menjadi senjata dalam upaya membuka rahasia-rahasia alam secara paksa tanpa moral dan pertimbangan etis. Seperti dalam sebuah tulisan Bacon memandang alam seperti perempuan yang rahasianya yang harus diambil secara paksa. Pandangan ini cikal bakal patriaki dalam pemikiran Ilmiah 

Sejajar dengan tradisi empiris yang terus melesat meninggalkan nilai ada sebuah pencarian yang justru sebaliknya menepis empiris tradisi ini diwalikan oleh Pascal, Leibniz dan Spinoza diabad ketujuh belas, Rousaeau dan Kant pada abad kedelapan belas, Hegel dan Nietzsche pada abad kesembilan belas yang semua mencari jalan lain bebas dari doktrin-doktrin teologi skolastik tapi yang tidak memangkas habis esensi menjadi eksistensi angka-angka semata. Blaise Pascal kendatipun mengandrungi ilmu pengetahuan empirisme tetapi ia tidak menyangkal adanya pertimbangan dalam pergolakan batin dalam ungkapannya, hati mempunyai alasan-alasan yang tidak dimengerti rasio namun bukan menampakan pertentangan keduanya menurutnya rasio atau akal manusia tidak dapat menjangkau segala sesuatu yang fisik maupun metafisik untuk itu hati manusia jauh lebih penting dalam memandang keterbatasan ini termasuk pandangannya tentang adanya Tuhan baginya manusia akan mampu memahami apa yang jauh dari sekedar pengetahuan material yaitu pengetahuan tentang Tuhan dengan menggunakan hatinya.

Spinoza juga memberi harapan dalam karyanya Etika-Demonstarted in the Geometric Order yang menyatakan bahwa kebaikan adalah apa saja yang memajukan pengetahuan dan begitupun sebaliknya pengetahuan adalah apa saja yang memberikan kebaikan. Menurut spinoza kebahagian bukalah efek samping tapi kebahagian itu sendiri. Seperti plato-spinoza berargumen bahwa pengetahuan akan melahirkan cinta, plato bisa jadi menjadi filsuf klasik yang paling romantis bahasa cinta plato adalah kekuatan terbesar dan kebaikan yang menyatu dalam alam, cinta juga adalah kebaikan yang paling membahagiakan. 

Pada abad kedelapan belas Rousseau dan Kant memiliki cara dalam memprotes peradaban yang disebabkan oleh pandangan empirisme. Rousseau memiliki pandangan tersendiri dalam mengapresiasi peradaban yang diangapnya telah menjauhkan manusia dari nalai-nilai esensi manusia dan dari sesama manusia (kemanusiaan). Menurutnya mekanisme buatan peradaban ini telah berhasil dalam menciptakan keterasingan emosional dan sosial. Ini adalah permulaan dari sebuah protes keras terhadap ilmu dan teknologi yang mengecewakan  manusia dengan cara-cara buatan yang gagal dipahami. 

Kant awalnya menganggap empiris memang membuka mata kita tentang pengetahuan pasti akan dunia fisik jika itu berlaku pada hukum-hukum fisika. Pengetahuan fisika hanya suatu pengetahuan yang hanya sekedar menampakan hal-hal materil dan bukan benda yang didalamnya lebih jauh yang bentuknya imateril, pada saat yang sama kant menganggap bahwa moralitas kita harus tunduk kepada komando hukum yang universal atau bisa dikatakan sesuatu yang bisa diterapkan kepada semua umat manusia. Namun menafikan moralitas dari pengetahuan fisik bukanlah perkara asal-asalan ini membutuhkan pertimbangan rasional dan hati nurani atau pikiran dan tindakan sebagai manusia dalam menjalankan kewajibannya.

Keduanya sama-sama menentang pandangan dunia tentang dukungan kepada empirisme,  perlawanan mereka bersifat imajinatif dan konstruktif walaupun pada abad kesembilan belas nilai-nilai memang dipaksa mundur dari tindakan kita sebagai manusia yang ada justru lalu muncul positivisme dan materialisme yang juga berada dalam kubu empirisme. Duel ini terus berlanjut wajar rasanya putus asa seperti yang ditampilkan oleh neitzsche dan penyair abad sembilan belas.

Budaya empirisis dan semua yang mendukung ini adalah takdir yang kita sudah putuskan dan sulit untuk diubah arahnya, produk usaha keras intelektualitas empiris berkuasa atas cita-cita luhur manusia-usaha yang sama –sama keras dalam mempertahankan pengetahuan dan nilai-nilai berada dalam satu atap pemikiran dan jalan yang sama dipertahankan sepanjang abad yang sedang berjalan khususnya oleh kalangan para penyair. Protes terhadap harapan yang mengecewakan pantas rasanya kita menggaungkan bahwa kita bukan sekedar hewan yang berfikir lebih dari itu kita adalah pewaris tradisi intelektual yang berevolusi dan besar. Tujuan pengetahuan kita bukan tentang manusia laki-laki dan perempuan seorang, tapi semua yang berlindung pada kita; hewan, tumbuhan, laut, sungai, gunung-gunung, bumi, tanah, air, karang walaupun pada akhirnya peradaban fisik akan hancur kita akan binasa menjaganya tetap alami untuk generasi ke generasi adalah tanggung jawab sebagai manusia.

  1. Mundurnya Nilai-Nilai pada Abad Kesembilan Belas

Diabad ketujuh belas nilai-nilai tradisional masih diperhitungkan walupun kemajuan di ilmu alamiah cukup besar. Salah satu tokohnya Newton dalam bukunya Philosohiae Naturalis Principia mathematica memberi kesaksian bahwa nilai-nilai tentang Tuhan masih dimuliakan. Saat John Locke dan David Hume merencanakan pemisahan pengetahuan dan nilai-nilai. Berbagai macam cara dan pemikiran di abad yang terus mencoba memisahkan diri berjalan sama abad kedelapan belas dengan berbagai wacana baru yang lebih agresif dan intensif menyerang nilai-nilai yang sudah dianggap tak berguna.

Tepat abad kedelapan belas ini menghasilkan awal transisi pemisahan pengetahuan dan nilai-nilai. Slogan-slogan renaisance Prancis membebaskan kekangan dan dari dunia religius dan pada saat yang sama ini membuka jalan menuju kehancuran manusia dan alam semesta secara bersamaan. Abad kesembilan belas menandai kemenangan ilmu atas nilai-nilaipara ilmuwan benar-benar menang telak atas agamawan. Dark age abad kegelapan Eropa pada masa ini sudah bersinar, ilmu dan teknologi mengalami perubahan pesat disemua dimensi positivisme, materialisme, marxisme, birokrasi teknologis industrial ternyata adalah zaman rusaknya lingkungan hal ini adalah dunia baru dan berani, peradaban yang maju dan mundur secara bersamaan, kemenangan ilmu logis berarti kekalahan nilai-nilai intuitis. Pandangan dunia yang sekuler, rasional yang berdasarkan ilmu sudah siap di legalkan.

Pertarungan ilmu dan agama bukan hanya soal intelektual semata tapi juga pada cara pandang kita terhadap dunia yang kita jalani, pertarungan yang mengorbankan manusia dan alamnya. Tujuan-tujuan yang didambakan ternyata tak satu arah, pengetahuan dengan keberaniannya menumbus kelembutan manusia sebagai makhluk yang berperasaan. Ilmu menjanjikan perluasan kenikmatan kehidupan manusia, agama menjanjikan manusia menyempurnakan dirinya sendiri.

Abad pertengahan atau the dark age ditandai dengan bersatunya kembali daerah bekas kekuasaan kekaisaran Romawi barat pada abad kelima, hingga munculnya monarki-monarki nasional dimulainya penjajahan samudra, abad pertengahan merupakan kegelapan bagi Eropa karna dominasi kekuasaan gereja yang besar hingga menghambat ilmu pengetahuan berkembang, prinsip-prinsip moralitas yang agung membuat kekuasaan agama menjadi lebih luas dan besar di semua bidang, abad ini merupakan kebangkitan religi di Eropa agama berpengaruh terhadap semua dimensi kehidupan manusia termasuk pemerintah, segala bentuk yang diluar agama seperti sains klasik dipinggirkan dan dianggap ilmu sihir dialihkan pada pemikiran teologi ketuhanan. Zaman kegelapan ini diartikan kemunduran intelektual zaman ini berlangsung selama 600 tahun. 

Gereja dan pendeta mengawasi kehidupan masyarakat serata juga politik, mereka berpendapat gereja berkuasa atas semua ini menyebabkan para kaum cendikiawan merasa tertekan dan apabila penemuannya bertolak belakang dengan keyakinan gereja maka akan dihukum (inkuisisi). Akibatnya inovasi dari para ilmuwan tidak berkembang salah satu korbannya Nicolas Copernicus. Sebelum sampai pada abad ini filsafat yang berkembang yaitu relativisme dan sofisme yunani berlanjut pada abad pertengahan lahir agama kristen dan ide-ide mempengaruhi sehingga filsafat kristen mendominasinya muncul filsuf plotinus, agustinus, yang semuanya sepakat mengedepankan iman dogmatis kristen. Para ahli filsuf dan ahli agama diatas logika. Keyakinan kristiani tidak boleh dikritiki dan disalahkan ini yang membuat gereja berkuasa otoriter yang dipandang sebagai pemerintahan yang sewenang-wenang, pajak masyarakat bersistemkan foedalisme berdasarkan tafsir kristiani bahwa para agamawan merupakan wakil Tuhan. segala bentuk kebijakan sepenuhnya diatas kuasa gereja dan perkembangan ilmu pengetahuan yang didasari oleh rasa penasaran dan kebutuhan dipangkas hanya sebagai penguat doktrin gereja. 

Pribadi yang progresif dan revolusioner pada abad kesembilan belas dengan semangat yang mengatasnamakan humanisme-teknologis yang terbarukan yang merasakan kekecewaan mendalam diabad pertengahan para ilmuwan disiksa, penjara bahkan dibunuh karna suatu penemuan yang dianggap pada saat itu bertentangan dengan doktrin gereja. Pada kesembilan belas inilah nilai-nilai intrinsik ditolak, akibatnya doktrin-doktrin baru mengenai nilai-nilai berusaha memberikan pembenaran atas kekuasaannya. Doktrin utilitarisme-etika dan tindakan-tindakan meyuarakan bahwa segala bentuk tindakan dan etika harus berprinsip kebaikan terbesar bagi semakin banyak jumlah terbesar, prinsip ini menjadi kasar yang hanya memandang jumlah materil untuk banyak orang sebanyak mungkin. Bagi masyarakat teknologis dan konsumeris inilah yang menjadi dasarnya utilitarisme yang dipelopori oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.

Mundurnya nilai-nilai pada abad ini merupakan kemajuan pesat ilmu pengetahuan, akhir abad pertengahan gerakan humanisme mulai digunakan kembali pada sistem pendidikan dan budaya di Eropa dengan sistem pembelajaran klasik Yunani dan Romawi yang mengandalkan rasio dan kebebasan individu untuk melawan kekuasaan teologi Kristen pada waktu itu yang memandang rendah rasio diatas doktrin gereja. Periode ini sering disebut Masa Pencerahan (Aufklarung/Renaisance). Gerakan humanisme dimulai dari italia karna tiga faktor berikut: tumbuhnya kekuatan monarki Italia paska perang Salib karena mendapat banyak pampasan sehingga mendapat dukungan pada sistem pendidikan intelektualistik setidaknya kaum kelas elit, kedua dikenalnya literatur klasik Yunani-Romawi dari teks-teks bahasa Arab di Timur Tengah dan sebagaimana literatur itu mempengaruhi Islam itu sendiri( seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dll) selanjutnya perpaduan cendkiawan Byzantium setelah kekaisaran mereka jatuh pada ottoman pada tahun 1453 yang masih fasih dengan teks-teks kuno Yunani- Romawi. Gerakan Humanisme kemudian memunculkan tiga hal yaitu kesadaran dikalangan teolog itu sendiri terkait politisasi agama oleh aliansi paus-bangsawan sehingga lahirlah reformasi, dimulainya mode estetik klasik untuk seni lukis, pahat, busana, patung, dan arsitekstur. Selanjutnya munculnya tulisan dan pemikiran filosofis independen helenistik yang pada gilirannya mendorong semangat keilmuan untuk mulai mengkritisi alam, sosial, iman, budaya, sejarah dengan tokoh-tokoh revolusioner dan progresif yang akhirnya membentuk suatu keputusan untuk menjadikan manusia dengan rasionya diatas segalanya. Abad kegelapan eropa meninggalkan kekecewaan teramat dalam bagi kaum ilmuwan, akibatnya nilai-nilai doktrin kekristenan benar-benar tidak dimaknai sebagai sisa sejarah yang harus diperjuangkan justru sebaliknya pengetahuan melaju pesat meninggalkan nilai-nilai. 

Optimisme kemajuan-kemajuan ini kemudian didukung oleh Nihilisme pandangan filosifis yang meniadakan tujuan manusia bahwa manusia kosong akan segala bentuk tujuan dan permulaaan dengan kata lain nihilisme menolak segalanya, seperti yang terekam dalam sebuah novel Father And Son dengan tokohnya Sergei Bazarov, di sisi lain saintisme dengan keangkuhannya berpandangan hanya dengan pendekatan ilmiah yang mampu menyelesaikan semua persoalan yang dihadapi oleh manusia dengan menyingkirkan pandangan atau pendekatan-pendekatan lain. keduanya adalah pandangan yang saling mendukung dalam upaya pengetahuan seluas-luasnya. Nihilisme, materialisme, saintisme, dan positivisme telah memandang rendah nilai intrinsik sebagai hal yang tidak penting, bahkan tidak ada dalam dunia fakta klinis dan ilmiah. Aspek yang paling mengkhawatirkan dari pandangan ini adalah mereka menganggap mereka adalah obor kemajuan, pelopor kemanusiaan padahal mereka adalah pelopor kehancuran manusia dan alam dengan mewujudkan perbudakan dan penindasan atas manusia dan lingkungannya. Salah satu tokoh yang mengkritik ini adalah Herbest Marcuse dalam bukunya yang berjudul One Dimensional Man, ia mengatakan bahwa masyarakat modern dalam arti pandangan dan segala bentuk dari hasil tersebut sekarang adalah masyarakat atau individu manusia yang sedang dibutakan, hanya ada satu dimensi manusia yaitu diarahkan pada satu sistem yang totaliter yang mematikan sikap kritis indvidu, sistem itu berpengaruh terhadap manusia yaitu politik, ekonomi dan juga ilmu pengetahuan teknologi yang hanya mengandalkan rasio teknologis. Ini menciptakan sebuah bentuk penindasan baru bagi manusia yang dibalut dengan kemajuan-kemajuan semu. Meskipun manusia dimudahkan dengan segala bentuk kecanggihan teknologis justru hal ini yang paling mengerikan yaitu keterasingan manusia yang daya kristis berfikir dan bertindak hanya di dasari oleh satu dimensi kepuasan sistem yang yang berkuasa.

Arah intelektual pada abad dua puluh menguntungkan kalangan bazaror barat-barat yang pesat maju secara ekonomis, dan juga semakin menganggap nilai-nilai bukan lagi kebutuhan manusia dan sentral pemikiran. Salah satu dari buruknya pemikiran barat modern ialah mengaitkan nilai intrinsik dengan agama yang dilembagakan. Nilai-nilai disamakan dengan agama yang memang demikian pada pandangannya bahwa kehancuran nilai-nilai sama dengan kehancuran agama, padahal kita lebih dari sekedar manusia yang tinggal di satu masa, kita jauh lebih dari sebuah evolusi besar dan terus berjalan, semestinya nilai-nilai itu yang melindungi rasa kemanusiaan kita. 

  1. Informasi-Pengetahuan –Kebijaksanaan

Selama tiga abad dari terakhir kita memisahkan manusia dari esensinya, dari nilai-nilainya dan dari persoalan-persoalan transendentalnya. Ilmu pengetahuan yang ada sekarang ini telah membuat manusia terasing dan membisu. Alih-alih memupuk kekaguman dan rasa hormat terhadap realitas, ilmu pengetahuan malah membuat manusia terperangkap di dalam jaring-jaring rasa ragu dan jemu. Pengetahuan hanya ada pada tataran otak yang sama sekali jauh dari hati(intuisi) dalam penerapannya segala sesuatu yang sedang dialami oleh manusia terlebih pada keputusan pikiran semata dengan kata lain pengetahuan hanya sebagai satu-satunya alasan kita melakukan sesuatu, tak ada kesatuan sebagaimana manusia memiliki sebuah pertimbangan baik-buruk yang disebut hati, hanya pengetahuan kita hanya dalam pandangan empiris semata. Pada tahap inilah pengetahuan kita tak lebih dari kumpulan informasi yang terspesialisasi, terpotong-potong menjadi bagian-bagian kecil yang dirangkai dalam sebuah sistem data yang memvalidkan data-data pendukung empiris selanjutnya terus menerus. 

Pemisahan pengetahuan dari nilai-nilai, manusia dengan naluri kritisnya, fenomena fisik dan tranfisik lainnya menghasilkan sebuah konsep yang harus dihalalkan oleh manusia secara terus menerus namun bukan kesatuan konsep utuh yang didapat melainkan sebuah jalan buntu yang membuat kita semakin jauh dari konsep kebijaksanaan. Kita hanya didorong oleh kebutuhan-kebutuhan informasi dan pembuktian fakta bahwa sebenarnya kita mendukung itu yang sebaliknya tidak didukung dalam pengembangan jati diri.  Pengetahuan kita hanya menjadi sebuah paham yang menyatakan bahwa seseorang pernah tahu namun tidak membantu, pada tataran ini pengetahun sekedar informasi tidak membantu kita menemukan jalan kebijaksaan yang seperti kita inginkan dalam hidup ini. seperti inilah ciri tampaknya kecenderungan pengetahuan kontemporer abad ini ibarat sebuah pohon hias yang dihias sedemikian mengesankan padahal akarnya sudah mati, palsu. Kehidupan yang gersang dari hal-hal yang menyentuh yang bersifat lahiriah ini tak akan membawa rasa apapun selain kelelahan mengejar yang ternyata palsu, fatamorgana. 

Untuk itu keputusan yang kita lakukan dimasa kini harus dipulihkan, jika tidak kita terus merasakan sakit dan sendirian , sakit jiwa kita harus segera disembuhkan, sakit hati kita harus segera diobati, sakit kepala kita harus segara diredamkan. Semua kesakitan timbul akibat dari sesuatu yang dipaksakan seperti pengetahuan kita dipaksa hanya untuk meyakinkan fakta-fakta empiris ilmiah semata. Segala sesuatu yang dipaksakan itu tidak memberikan kedamaian,ketenangan, dan kebahagiaan untuk mulai menyadari ini kita harus  pertanyakan pada diri sendiri rasanya bertanya kepada diri sendiri tentang sebuah dasar tujuan akan jauh lebih mengesankan. Tujuan pengetahuan seseorang adalah dasar kesadarannya, jadi bisa dikatakan kesadaran melebihi pikiran dan hati kita sendiri, karna ketika kesadaran itu bangun maka seseorang akan mampu membangun dirinya sendiri. Membangun tujuannya, impiannya, dan pandangannya. Manusia sebagai makhluk individu pada dasar kesadaran ini penting dalam menentukan hidupnya secara mandiri, ketika mampu membangun diri sendiri bukan hal yang sulit untuk bisa membangun orang lain. 

Pengetahuan semacam ini tidak kita temukan dalam pandangan komunitas karena ia bersifat personal dan emosional, seseorang mampu menyadari sesuatu hal ketika ia dan hatinya berfikir untuk bertindak baik.  Masa silam pengetahuan yang sedang dikejar hanyalah kumpulan informasi yang jauh dari sebuah kata bermakna karna tidak berakar pada landasan kebijaksanaan, akibatnya pengetahuan kita tidak membawa pengaruh dalam suasana hati kita sebagai manusia. Justru kemodernan yang kita jalani ini menjerumuskan kita pada pola-pola kehidupan yang kering dan gersang dari nilai-nilai, tak menafikan bahwa pengetahuan telah membawa pengaruh luar biasa kedalam kehidupan kita mulai dari sistem ekonomi, industri, dan ekspoitasi terhadap alam yang kebanyakan kita menganggap semua itu bukan sebuah tanda hilangnya nilai tetapi dipandang sebagai sebuah ketercapaian yang harus diapresiasi dengan mengorbankan nilai manusia dalam perputaran sistem itu sendiri, yang pada praktiknya manusia hanya sebagai mesin agar sistem itu terus melaju dan menguntungkan pihak-pihak kapitalis, modernis, dan konsumeris lainnya. 

Tak berhenti pada sistem itu pengetahuan yang didapat oleh seorang manusia melalui sistem pendidikan tak luput dari pandangan eksplorasi hakikat manusia yang direduksi keberadaannya. Lihatlah bagaimana pendidikan kita secara sembunyi-sembunyi memiliki agenda besar yang dibalut oleh praktik-praktik pengetahuan yang hanya bersifat materil yang pencapaianya hanya diakui ketika ia mampu memberikan sumbangsi pada kelompok tertentu yang sering kali jauh dari etik-etik moril sebagai orang yang berpengetahuan. Pandangan ini membentuk suatu masyarakat yang meyakini bahwa pengetahuan hanya menjadi jalan seseorang dalam mensukseskan misi pribadi yang acap kali tidak manusiawi, ketidakpekaan dalam landasan untuk apa pengetahuan itu digunakan dan diamalkan menjadi sebuah masalah besar dalam dunia manusia dan pengetahuannya. Pada titik ini pantas rasanya mempertanyakan lagi hal yang fundamental terhadap diri sendiri, apakah pengetahuan kita justru membawa kita jauh dari kebermaknaan dan nilai-nilai? Sebuah argumentasi yang membedakan teori dan praktik adalah kekeliruan berfikir dan bertindak seorang manusia dalam menjalani kehidupan yang bijak ini. Pengetahuan sejatinya menghasilkan sebuah teori apabila teori itu tidak sesuai praktiknya maka apa yang harus dipertimbangkan untuk pengetahuan itu terus dikejar, telah berapa banyak hari dalam hidup kita untuk mengejar pengetahuan yang sama sekali tidak membahagiakan kita sebagai manusia yang tujuan dalam hidupnya yaitu sampai pada puncak kebahagiaan yaitu surga, bagaimana kita sampai pada puncak kebahagiaan itu jika didunia saja kita tidak bahagia. Untuk bahagia didunia kita harus sampai pada sebuah pemahaman konsep untuk apa kita terlahir sebagai manusia jika dalam hidup yang dijalani ini kita tidak menemukan pemahaman itu, maka kita tidak akan bahagia. Kebijaksanaan terlahir dari sebuah kebahagiaan dan itu hanya akan tercipta ketika kita mampu hidup dalam suasana pengetahuan, pikiran, hati, dan kesadaran yang utuh. Dalam artian pengetahuan yang tercerahkan, kehidupan yang membahagiakan, dan kebijaksanaan yang bermakna bagi manusia dan alam. untuk berkelakuan yang baik kita harus berfikir yang baik, kita harus menyatukan pengetahuan dan nilai-nilai karna dengan itu kebijaksanaan dalam sebuah maksud filsafat akan sampai pada kesatuan hidup dan berfikir yang seimbang.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Untuk Hari Wisuda

Agustus

Sehari Di Pulau Kera, NTT