Sehari Di Pulau Kera, NTT

 Pulau Kera 

 Tata Azzahra Salsabila Rosie

Alumni KKN Nusantara Nusa Tenggara Timur

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Apa yang terlintas dibenakmu mendengar kata kera? Hewan yang dilindungi? Atau teori evolusi milik Charles Darwin? Manusia mati meninggalkan nama, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, lalu kera mati meninggalkan? Sebuah pertanyaan yang sampai sekarang belum kutemukan jawabannya, kenapa Pulau itu bernama Kera! Tapi pada akhirnya aku tau bahwa asal nama itu “kea” yang berarti penyu, karna dulu pulau kera tempat orang-orang mencari penyu. Namun bagiku kera mati meninggalkan? Kenangan dan cerita. Tapi kera tidak akan pernah mati di benakku, Kenapa? karna kera, aku mengenal alam dan manusia. Sebuah refleksi antara Trilogi metafisiska Tuhan, Alam, dan Manusia.

Manusia merupakan perpaduan antara anima vegetativa (roh tumbuhan) dan Anima sensitiva (roh hewan) secara fisik manusia memiliki kecenderungan untuk bertumbuh secara utuh seperti tumbuhan dimulai dari akar, batang, daun, dan buah, manusia bertumbuh secara utuh kaki, tubuh, tangan dan kepala. Roh sensitiva manusia terletak pada naluri, nafsu, berkendak sehingga ia bergerak dan bertindak, sama hal dengan manusia, tetapi dari perpaduan secara fisik itu manusia merupakan perpaduan paripurna yang yang membedakan ia dengan makhluk lain yaitu yang disebut dengan anima intelektiva (roh intelek) kesadaranlah yang membuat manusia menjadi istimewa, bukan saja ia ada tetapi ia menyadari keberadaanya, ia bergerak, bertindak, mengerti, dan mengalami. Dalam setiap perbuatan manusia mengalami dirinya sendiri. Dari perpaduan rohani manusia merupakan sinergi antar malaikat (kebaikan) dan Iblis (kejahatan), sumbernya ada di hati nurani tiap manusia, kadang kalah salah satunya menjadi dominan dan manusia sering tidak seimbang, namun akal merupakan anugerah terindah yang Tuhan berikan kepada manusia untuk bisa memilih keputusan hidupnya sendiri. Manusia mahkluk yang sempurna, tetapi bukan berarti ia bisa berbuat semena-mena.

Pada suatu hari, berawal dari program pengabdian, seorang mahasiswa menjalankan tridharma perguruan tinggi yaitu pengabdian. Iya.. pengabdian. Apa arti pengabdian buat kamu? Waktunya menggemukan badan? Atau saatnya menikmati masa santai setelah penat dengan dunia perkuliahan? Atau waktunya pencitraan kuliah-kerja-nyantui? Atau, benar waktunya mengabdi? Kenapa pengabdian ke masyarakat menjadi tugas mulia seorang mahasiswa untuk melegalkan ijazah s1 nya, kenapa mahasiswa diwajibkan mengabdi?

Untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita bertanya lagi, mengapa dunia itu sementara? Bukankah sekarang umur dunia ini sudah bermilyar tahun? Mengapa dunia ini hanya sementara? Karna setelah dunia ada akhirat yang selama-lamanya. Analogi waktu didunia 1000 tahun sama dengan satu hari di akhirat, alam akhirat punya? Allah, jadi waktu dibumi itu tidak ada artinya dibandingkan dengan akhirat. (perhitungan yang maha kuasa). Bagi manusia dunia itu lama, ada orang yang hidup sampai umur 100 tahun, apakah 100 tahun waktu yang singkat menurut perhitungan dunia? Tentu tidak ada 36.500 hari yang harus dilalui, dan bermilyar detik yang terus berjalan. Apa gunannya hidup 100 tahun kalau tidak sembayang? Sebuah lirik lagu yang terdengar memiliki makna mendalam bagi siapa saja yang hendak merenunginya.

Sama, sama seperti pengabdian, mengapa mahasiswa di wajibkan mengabdi? Karna setelah mengabdi, mahasiswa diharap bisa merasakan hidup ditengah masyarakat yang mungkin berbeda dengan kehidupannya sebelumnya,  setelah mengabdi mahasiswa diharap bisa memaknai perannya sebagai bagian dari masyarakat. Setelah mengabdi mahasiswa akan terpanggil jiwanya untuk lebih peduli sesama manusia, tak peduli beda agama, suku, budaya atau apapun itu. Dan tentu menimbulkan rasa tanggung jawab kepada bangsa dan negara, dalam berkontribusi membangun tanah kelahirannya. Jika program pengabdian itu tidak memberi dampak apapun kepada seorang mahasiswa, Lantas apakah tridharma perguruan sudah benar-benar dijiwai oleh mahasiswa? Apa gunanya program pengabdian, jika apa yang diharapkan tidak menjadi kenyataan. Bukankah mubazir buang-buang anggaran, padahal masih banyak orang yang gelarnya bukan mahasiswa memiliki jiwa pengabdi kepada negeri yang patut untuk diapresiasi! Pengabdian itu sakral, jika ia tak membawa dampak apapun, maka itu bukan pengabdian, dan tentu ia bukan mahasiswa yang berhasil dalam menjiwai perannya sebagai mahasiswa. Patut dipertanyakan apakah pengabdian kita sudah sesuai dengan yang selama ini kita butuhkan bukan diinginkan Pengabdian memiliki banyak makna yang luas, kebanyakan orang akan menganggap pengabdian adalah merelakan, merelakan apa? tergantung masing-masing orang tujuan mengabdi untuk apa dan ingin mendapat apa.

 Pada 31 januari 2020 cerita di pulau kera. Setelah program forum grup discussion terlaksana yang melibatkan seluruh steakholder yang ada dikeluarahan Sulamu salah satunya sektor kesehatan, kami mendapati hasil kerjasama dengan satuan kesehatan dalam hal ini puskesmas Sulamu, beberapa program usulan dari Ibu Alberthini Nggelan selaku Kepala Puskesmas beberapa diantaranya yaitu Sosialisasi Pencegahan Diare didesa Pantulan, yg sudah terlaksana pada minggu awal pengabdian, kami dilibatkan dalam sosialisasi tersebut untuk melihat kondisi masyarakat sehari-hari. Hari itu kami bertiga mahasiswa KKN Nusantara rekan saya Tauhid dan Rosyid kami bertiga diajak melihat sumber mata air tawar yang digunakan masyarakat memenuhi kebutuhan air bersih, sumur itu terletak cukup jauh, konon menurut bapak RW pantulan dusun III sumur ini tidak pernah kering walaupun musim kemarau. Dari sosialisasi pertama itu kemudian pak lurah dan Bu kapus mengajak kami secara keseluruhan mahasiswa KKN Nusantara sekitar 18 orang dari desa pantai beringin dan kami kelurahan sulamu untuk mengikuti kembali kegiatan medical check Up Pulau Kera yang agendanya satu bulan sekali, siang itu gelombang lumayan tenang kata nahkoda kami membantu membawa obat-obatan puskesmas, Perjalanan ke pulau kera menjadi cerita sendiri, kami harus menempuh perjalanan laut dengan kapal motor berukuran besar.

Pulau kera, pulau kecil yang berada di tengah lautan kota kupang dan kecamatan sulamu. Secara geografis termasuk dalam bagian dari pulau semau, bukan kelurahan sulamu, tetapi penduduk di pulau kera sebagian besar merupakan masyarakat kelurahan Sulamu. Secara administratif pulau kera berada di wilayah Desa Uiasa, kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang , Nusa Tenggara Timur. Luas pulau ini hanya 28 Ha, dihuni sekitar 400 jiwa, yang terdiri dari 127 kepala keluarga yang merupakan masyarakat suku Bajo. Iya suku Bajo, suku yang mendapat julukan suku manusia perahu, setelah mengenal suku bajo bebarapa hari selama KKN di pesisir sulamu kemarin, baru kusadari bahwa nenek moyangku benar-benar seorang pelaut.

Suku bajo atau bajau menghabiskan kehidupannya dilautan, mereka mempunyai falsafah hidup bahwa laut adalah kehidupan, kebun, dan halaman atau perkarangan rumah. mereka berkeyakinan bahwa nenek moyangnya merupakan keturunan dewa laut sehingga orang bajo tidak bisa dilepaskan dari lautan. Semua aktivitas kehidupan mereka habiskan dilaut. karna itu dulu suku bajo mempunyai kecenderungan mengisolasi diri dari perkembangan dan perubahan. Suku bajo selalu merasa dieksploitir dan dicurigai oleh suku lain disekitarnya, sehingga dengan angapan yang demikian itu, membuat mereka selalu berpindah-pindah dari suatu temat ke tempat lain. Orang Bajo tetap sampai sekarang taat menganut agama Islam, dan bagi mereka Islam adalah satu-satunya agama yang menjadi ciri khas suku ini. dalam buku Islam Bajo Agama Orang Laut karya Benny Baskara, orang suku bajo sebenarnya tidak suka disebut “Bajo” sebab sebutan itu dulu digunakan oleh orang luar Bajo untuk mengejek, mereka lebih senang disebutorang sama’ sedangkan mereka menyebut orang diluar mereka ‘orang bagai’. Kata Bajo berarti rendah, jadi siapa yang mau dipanggil rendah. Untuk itu kita sebut suku Bajo sekarang Suku Sama. Tentang keIslaman suku Sama, mereka menerima Islam dari Malikusaleh Sultan Aceh abad ke 13, yang menolong moyang suku sama saat terusir dari negrinya suku sama (Johor dan Malaka). Orang-orang suku sama dipercaya Malikusaleh untuk menjadi prajurit armada laut, mengantar pada penyiar agama Islam ke pulau-pulau belahan timur dan menjadi awak perahu dan nahkoda para pedagang Islam. pertemuan mereka dengan Sultan Malukisaleh, penyiar Islam(ulama) dan pedagang itu yang menjadikan orang sama menerima Islam sebagai kepercayaan bersanding dengan kepercayaan asli mereka. Jadi ada banyak tradisi leluhur yang masih dipercaya suku sama walaupun mereka sudah memeuk Agama Islam.

Pak Hamdan Saba, ketua RW 13 kelurahan Sulamu sejak 2014 lalu,  tahun 1995 pak Hamdan sudah menetap disini,seorang nelayan dan juga pembuat perahu, 25 tahun sudah ia menetap di pulau ini. sebelum Indonesia merdeka suku sama sudah menempati pulau ini, karna peperang sekutu saat itu, suku sama melarikan diri, tepatnya tahun 1992 suku sama mulai kembali menetap disini, nama-nama orang suku sama yang menetap pertama kali yaitu sesepuh Pak Naseng Rebana, Dahlan Belia, Nona Toga, Cirung Panggala, Halim Pangala,Sima Cangring yang awalnya hanya 27 kepala keluarga sampai sekarang ada 127 kepala keluarga yang menempati pulau kera ini.

Pulau ini dihuni oleh 95% orang suku sama sisanya suku rote, hampir semuanya beragama Islam termasuk bapak hamdan orang suku rote yang menjadi mualaf. Sudah 5 tahun ia menjabat sebagai ketua RW, banyak hal yang masih dikeluhkan oleh masyarakat pulau kera mulai dari ketidakjelasan status mereka yang berdomisili di pulau yang menurut surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor 83/Kpts-II/1993 tanggal 28 Januari 1993, Pulau kera berada dalam kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) teluk Kupang yang luasnya mencapai 50.000 Ha. hal ini membuat masyarakat tidak mendapat akses yang jelas dalam administrasi, “kalaupun masyarakat pulau kera akan di relokasi, kita semua mau asal relokasinya yang manusawi” ucap pak hamdan. Dalam jurnal yang ditulis oleh Mahasiswa pasca sarjana Institut pertanian Bogor, yang berjudul perencanaan pariwisata dipulau kera dalam hasil penelitiannya menyebutkan pulau kera memiliki potensi pariwisata yang akan menarik wisatawan karna pulau ini memiliki keunikan sumber daya alam, kebersihan udara dan lokasi yang masih bersih alami, dan kerawanan kawasan pencurian,perambanan, dan kebakaran. Secara pulaunya ditengah lautan.

Pulau kera memiliki tumbuhan yang mendominasi yaitu lamtoro dan pohon turi, namun aset ini tidak dimanfaatkan oleh masyarakat mengingat menjadi nelayan akan jauh lebih menguntungkan daripada mengolah lamtoro, masyarakat pulau kera berprofesi sebagai nelayan, pengahasilan mereka bersumber dari hasil laut seperti Ikan Tuna,Raja, Mahi-mahi, Gurita, dan cumi-cumi. semua hasil dijual ke Kota Kupang dari sinilah sumber pendapatan masyarakat, walaupun dijual dengan harga yang bisa dibilang mahal untuk ikan tuna yang beratnya 40 kg bisa dijual dengan harga satu jutaan, yang menurut pak kardi yang sudah 20 tahun menetap dan menjadi nelayan disini dalam satu malam bisa mendapat 2 sampai tiga ekor ikan tak membuat kehidupan masyarakat sejahtera dari hasil lautannya.

Masyarakat pulau kera tinggal dirumah yang terbuat dari pelepah pohon goang sejenis pohon kelapa, masyarakat memanfaatkan nya untuk menjadikannya sebagai atap dan dinding rumah. Keterbatasan sumber daya alam untuk dimanfaatkan membuat  masyarakat harus membeli bahan ini dari kota Kupang yang bisa dikatakan akan memakan biaya akomodasi pengiriman yang mahal karna jarak yang cukup jauh dari kota kupang, dan alat transportasi yang terbatas, hal ini juga membuat masyarakat harus mau tidak mau untuk keluar pulau harus menyediakan perahu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti air bersih, bahan makanan, sayuran, buah-buahan, dan juga pakaian.

Tidak mudah hidup dipulau ini, tidak ada listrik di siang hari, kondisi udara yang panas dan cukup menyengat membuat siapa saja yang baru datang kesini merasa harus memakai sunblock dengan tingkat SPFnya sangat tinggi, untuk melindungi kulit dari paparan sinar matahari yang akan mengakibatkan kegosongan pada kulit, tapi tidak dengan masyarakat disini mereka sudah terbiasa dengan kondisi tanpa listrik disiang hari, hanya ada satu sumber listrik disini yaitu genset yang hanya beroperasi dari jam 6 sore sampai 12 malam sisanya, alamiah saja mengandalkan alam, membuat masyarakat dipulau kera memiliki kebiasaan duduk di halaman rumah di bawah pepohonan untuk menghilangkan kebosanan, akibat tidak adanya hiburan acara televisi yang biasa masyarakat dengan listrik 24 jam nonstop mencari hiburan yang mudah dan sederhana tapi terlena dengan hanya menghabiskan hidup hanya didepan televisi, tapi tidak bagi masyarakat pulau kera televisi menjadi hiburan yang paling dinanti ketika malam tiba, ketika pagi menyapa masyarakat pulau kera dengan segala akttivitas “manusia alam” nya , hal ini justru yang menjadi keunikan tersendiri dipulau kera, arus informasi yang terbatas, akses jaringan yang hanya ada dibeberapa titik membuat masyarakat mengandalkan komunikasi antar manusia yang lebih efisien dan naturalistik sekali. hal ini juga yang membuat masyarakat pulau kera tak terprovokasi oleh arus informasi yang cepat dan kadang menyesatkan. Karna cukup bagi masyarakat pulau kera untuk alasan berada dipulau ini sejauh merasa tenang dan damai.

Mulai dari kebiasaan sehari-hari duduk didepan rumah, sambil mengayam jaring untuk mengkap ikan, membuat perahu, membuat alat pancing, sambil mengunyah pinang sirih, dan hal-hal yang tak akan pernah kita lihat di tempat kita sekarang yang membaca ini, bagi masyarakat pulau kera, kenyamanan dan rasa aman tanpa beban membuat mereka enggan meninggalkan pulau kera dan sejuta daya magisnya. Termasuk saya yang baru beberapa jam disana sudah merasakan kenikmatan menjadi manusia alam yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya berada di pulau ditengah lautan yang kapan saja bisa terjadi tsunami, gempa bumi, dan hal-hal yang menakutkan lainnya, alam bersahabat ketika kita bersahabat. Alam akan aman ketika kita nyaman dan alam akan hormat apabila kita menghargai alam. Terkadang apa yang kita rasakan jauh lebih bermakna dari apa yang kita tuliskan. Akhirnya dalam sehari pulau kera mengajarkan saya betapa menyenangkan hidup di tengah keterasingan yang menurut kebayakan orang menyulitkan justru itu yang kita butuhkan. Ruang pribadi itu saya simpan dimemori cerita sehari dipulau kera.

Saya belum mengabdi disini dari keempat hal pengabdian tadi yang merasakan, memaknai, peduli, dan tanggung jawab. Saya baru pada tahap merasakan, untuk itu ada sebuah alasan untuk saya kembali lagi ke pulau ini untuk memaknai, peduli dan bertanggung jawab, karna pernah kesini jadi saya harus selesaikan misi ini. Insha Allah jika Allah menginzinkan.

menjalani hidup yang tak direnungi adalah hidup yang tak layak dijalani, teman saya berkata setiap tempat adalah sekolah setiap orang adalah guru, seseorang dibesarkan oleh pengalaman dan pemaknaan, hidup adalah seni, seni menjalani semua misteri yang kuncinya ada didalam diri kita sendiri. Daya nalar, daya rasa, daya imajinasi, dan penglihatan kita itu sering kali bias, itu yang membuat kita sering sekali memberi kesimpulan yang salah dari pernyataan yang benar , semua orang benar dengan sudut pandangnya masing-masing, yang salah ketika kita menyalahkan sudut pandang orang lain yang kita sendiri tidak mengalaminya. Pada akhirnya kunci membuka misteri dunia ini ada dalam diri kita sendiri. Untuk mewujudkan mimpi, kita hanya butuh memulai mimpi itu.  Lakukan kebaikan sekecil apapun karna kebaikan akan kembali pada kita, kita hanya perlu percaya. Terima kasih alam semesta. terima kasih pulau Kera :) https://open.spotify.com/episode/1jdRM1MwAWaQ66ydJ9JO4T teman teman bisa dengarkan versi podcastnya di sini.

Berikut beberapa foto di Pulau Kera:

bersama Crew Puskesmas Sulamu di desa pantulan

perjalanan menuju pulau kera 

bersama bu Alberthin Nggelan 
bersama masyarakat desa pantulan 


Pesisir Pulau Kera







bersama pak Hamdan Saba ketua RW di Pulau Kera

salah satu rumah di pualu kera

pulau kera dari atas pesawat

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Untuk Hari Wisuda

Agustus